Jakarta, (Rilis Publik)
Eks Pimpinan KPK Firli Bahuri terseret kasus dugaan suap yang melibatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait buronan Harun Masiku.
Pasalnya, kasus Hasto sudah terdeteksi sejak lama namun baru ditetapkan menjadi tersangka di masa pimpinan KPK yang baru.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Tibiko Zabar Pradano menjelaskan bahwa 2020 silam, Hasto sudah pernah dibuntuti oleh penyidik KPK.
Namun, penyidik kemudian kehilangan jejak Hasto di sekitaran Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Saat melakukan pembuntutan, penyidik KPK saat itu bahkan mendapatkan intimidasi dan disekap oleh petugas.
ICW menyebut, sejak 2020 silam, ada ketidakseriusan pimpinan KPK dalam menuntaskan kasus Harun Masiku.
“Hal ini ditengarai akibat adanya kebocoran informasi di internal KPK dan ketidakseriusan pimpinan KPK dalam melaksanakan tanggung jawabnya,” sambungnya.
Adanya dugaan ketidakseriusan KPK era Firli Bahuri ini juga disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Nasdem Rudianto Lallo.
Rudianto menyebut bahwa penetapan tersangka Hasto yang baru terjadi saat ini adalah bentuk kegagalan dari kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lama era Firli Bahuri.
“Jangan nanti sudah 5 tahun baru itu diungkap lagi, dan sebagainya. Ini kan kegagalan KPK menghadirkan DPO,” kata Rudianto saat dimintai tanggapannya oleh awak media, Rabu (25/12/2024).
“Pimpinan KPK lama yang gagal menghadirkan DPO Harun masiku. Ini kan kekeliuran, liar, dan kemana-mana, dan berlarut-larut,” sambungnya.
Sementara, perkara yang menjerat Hasto ini diibaratkan oleh Rudianto sebagai suatu tunggakan perkara yang akhirnya baru dilakukan oleh pimpinan saat ini.
“Makanya dari awal ini kekeliruan pimpinan KPK lama, menurut saya, dan tidak menuntaskannya yang menjadikan ini tunggakan perkara. Sehingga ini berlarut-larut dan liar,” kata dia.
Sehingga Rudianto mengaku bahwa sedianya perkara ini tidak dikaitkan dengan politisasi bagi yang tidak sejalan dengan pemerintah.
“Ya ada yang mengatakan tendensi politik, ini menarget orang per orang, dan sebagainya. Ini yang tidak baik untuk KPK,” ujar dia. (*)