BOJONEGORO, RILISPUBLIK.– Ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti tumpukan dana pemerintah daerah yang mengendap di bank, publik Bojonegoro seperti disodorkan cermin besar, daerah yang konon kaya migas dan ber-APBD jumbo justru lebih gemar menabung daripada membelanjakan anggarannya untuk kesejahteraan rakyat.
Saldo Rp 3,6 triliun di Bank Jatim bukan angka kecil, itu adalah potret besar tentang bagaimana uang rakyat tidak segera kembali dalam bentuk manfaat nyata, jalan desa yang rusak, irigasi terbengkalai, atau lapangan kerja yang tak kunjung tumbuh. Dalam bahasa sederhana, pemerintah daerah lebih sibuk mengurus bunga deposito ketimbang “bunga ekonomi rakyat”.
Dalih “optimalisasi PAD dari idle cash” mungkin terdengar cerdas di ruang rapat BPKAD, namun di lapangan, kebijakan itu terasa ironis, bagaimana mungkin uang hasil pajak, retribusi, dan sumber daya alam Bojonegoro lebih banyak diendapkan di bank daripada digulirkan untuk menggerakkan ekonomi lokal?
Lebih ironis lagi, alasan itu diterima begitu saja oleh sebagian anggota DPRD, seolah tugas pengawasan hanya sebatas mendengar penjelasan teknokratis tanpa menyentuh substansi, mengapa uang sebesar itu tidak segera kembali ke rakyat?
Ketika pemerintah pusat menegaskan bahwa dana publik harus bekerja untuk kesejahteraan, Bojonegoro justru bersembunyi di balik istilah “silpa” dan “cadangan kas operasional.” Padahal, setiap rupiah yang menganggur di rekening berarti proyek yang tertunda, petani yang belum menerima bantuan, pelaku UMKM yang tak dapat akses pembiayaan, dan pembangunan yang kehilangan momentum.
Mungkin benar, bunga deposito 4,25 persen mampu menambah PAD sekitar Rp 80 miliar, tapi jika uang Rp 3,6 triliun itu bergerak di pasar, dampak ekonominya bisa berkali lipat, menciptakan perputaran uang, membuka lapangan kerja, dan menekan inflasi, bukankah itu esensi dari anggaran pembangunan?
Kini, publik berhak bertanya, apakah Pemkab Bojonegoro bekerja untuk “mengoptimalkan kas”, atau untuk “memakmurkan rakyat”?
Jika uang rakyat lebih banyak tidur di bank daripada bekerja di lapangan, maka jangan salahkan jika kepercayaan publik ikut tertidur, sebab, pembangunan bukan soal saldo di rekening daerah, tapi seberapa cepat dan tepat uang itu kembali menyejahterakan pemilik sejatinya adalah rakyat Bojonegoro.
[Red]








