BOJONEGORO, RilisPublik. – Dari balik dokumen rencana kerja tahun 2025 yang beredar di internal Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, muncul fakta mencengangkan. Dinas Pendidikan mencatat 219 paket kegiatan yang bersumber dari hasil verifikasi terhadap 260 usulan masyarakat, lembaga pendidikan, serta pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD, seluruhnya diklaim telah terakomodasi dalam Rencana Kerja (Renja) Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro.
Namun, hingga kini publik tak menemukan jejak satu pun dari ratusan paket itu di laman resmi pengadaan pemerintah, baik di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) maupun di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Yang lebih aneh lagi, ketika diminta klarifikasi, pihak dinas memilih bungkam total.
Keberadaan 219 paket tersebut semestinya menjadi bukti nyata bahwa Dinas Pendidikan Bojonegoro serius memperbaiki mutu sarana dan prasarana pendidikan, namun fakta di lapangan justru mengarah pada dugaan lain: proyek-proyek ini hanya hidup di atas kertas, tanpa transparansi dan tanpa jejak pelaksanaan.
“Kalau memang ada kegiatan, mengapa tidak muncul di sistem resmi pengadaan? Bukankah semua harus diumumkan?” ungkap salah satu pemerhati kebijakan publik di Bojonegoro yang enggan disebut namanya.
Ketiadaan publikasi ini menimbulkan asumsi liar di tengah masyarakat. Banyak pihak menduga, program tersebut disulap menjadi komoditas politik, digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu menjelang momentum strategis daerah.
Bahkan muncul tudingan bahwa kegiatan itu menjadi ajang bagi-bagi kue proyek dengan transaksi gelap di bawah meja, di luar mekanisme resmi yang diatur oleh regulasi pengadaan pemerintah.
Padahal, dalam amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), setiap badan publik wajib membuka akses terhadap rencana dan pelaksanaan kegiatan yang menggunakan dana negara.
Kebisuan Dinas Pendidikan dalam hal ini justru mencerminkan pelanggaran moral terhadap semangat transparansi dan akuntabilitas, tak hanya itu, publik juga patut khawatir terhadap implikasi praktisnya.
Jika proyek-proyek pendidikan dijalankan tanpa keterbukaan, maka rawan terjadi mark-up anggaran, fiktifnya kegiatan, hingga pengalihan manfaat proyek kepada pihak yang tidak berhak.
Sektor pendidikan seharusnya steril dari kepentingan politik dan ekonomi sempit, ia adalah ruang pengabdian, bukan ruang negosiasi proyek.
Namun yang terlihat justru sebaliknya. Ketika angka-angka dalam rencana kerja tak lagi sejalan dengan keterbukaan publik, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan pun runtuh.
Bojonegoro, yang selama ini dikenal kaya akan potensi sumber daya dan belanja publik, tampaknya kini harus berhadapan dengan defisit kepercayaan.
Selama Dinas Pendidikan tetap bungkam tanpa klarifikasi terbuka, publik berhak mempertanyakan, apakah 219 paket itu benar-benar untuk membangun sekolah, atau hanya untuk membangun pundi-pundi pribadi mereka yang bermain di balik layar? .
[Red]








